Jumat, 31 Mei 2013

Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia


A.     Pendahuluan
Sekian banyak para cendekia dan pengamat memandang bahwa persoalan penegakan hukum khususnya dalam penanganan perkara yang lemah menjadi penyebab utama keterpurukan negara Indonesiadewasa ini. Hal ini tidak dapat dipungkiri apabila melihat fenomena yang terjadi seperti isu penanganan perkara yang bersifat tebang pilih, kurangnya political will dan moral hazard dari pemegang kekuasaan serta belum harmonisasinya seluruh ketentuan perundang-undangan yang ada. Lebih dari itu, maka mudah ditebak bahwa akhir dari penegakan hukum tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.Dampak dari semua itu tentu membawa keterpurukan negara yang berkepanjangan dalam berbagai segi, diantaranya rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pengangguran, dan kemiskinan yang pada akhirnya memicu peningkatan angka kriminalitas. Di samping itu, dapak lainnya antara lain adalah relatifnya rendahnya tingkat kompetisi perdagangan, dan kurangnya insentif yang menyebabkan iklim  berusaha tidak dapat berjalan secara kondusif.
Dari sisi penegakan hukum, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk pencegahan dan pemberantasan berbagai tindak pidana, seperti tindak pidana korupsi. Berbagai upaya tersebut antara lain penerbitan Keppres No.228/1967, pembentukan TGTPK dan KPKPN dan terakhir adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun demikian, dengan upaya ini belum dapat dikatakan kita telah berhasil mengatasi permasalahan penegakan hukum, tercermin dari publikasi yang memuat pemeringkatan negara terkorup yang dikeluarkan oleh Transparancy International dan PERC (Political and Economic Research Consulting) yang selalu menempatkan Indonesai dalam posisi terburuk[1]. Sementara itu,Country Manager International Finance Corporation (IFC), German Vegarra dalam laporan Doing Business in 2006 yang disusunInternational Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa dari hasil survey kemudahan berbisnis di 166 negara, Indonesia menduduki peringkat bawah. Survei yang dilakukan mencakup tujuh paket indikator iklim bisnis, yaitu memulai bisnis, mempekerjakan, menghentikan pegawai, menetapkan kontrak kerja, mendaftarkan property, memperoleh kredit, melindungi investor dan menutup usaha. Di samping itu, indikator lain adalah pembayaran pajak, lisensi usaha dan perdagangan antar batas Negara. Hal-hal yang melemahkan posisi Indonesia (tahun lalu Indonesia masuk urutan 115 negara dari 145 negara) adalah  tingkat kesadaran membayar pajak, dan jumlah hari serta prosedur untuk menetapkan kontrak cukup lama, yaitu 570 hari dengan 34 prosedur (sementara Malaysia hanya 300 hari dan 31 prosedur, dan Singapura hanya 69 hari dengan 23 prosedur)[2].  Apa yang telah dilakukan di atas masih terbatas dalam lingkup korupsi dan belum menyentuh tindak pidana lain khususnya tindak pidana yang menghasilkan uang atau harta kekayaan seperti penyuapan, penyelundupan, perbankan, pasar modal, dan lainnya, baik yang melibatkan sektor pemerintahan maupun swasta. Diakui atau tidak bahwa dalam pemberantasan tindak pidana selama ini menghadapi kendala baik teknis maupun non teknis. Pendekatan dalam pemberantasan tindak pidana – tindak pidana selama ini lebih menitikberatkan bagaimana menjerat pelaku tindak pidana dengan mengidentifikasi perbuatan pidana yang dilakukan. Sejak April 2002 telah diperkenalkan sistem penegakan hukum yang relatif baru sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan persoalan di atas bukan hanya karena metode yang digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Sistem dimaksud adalah rezim anti pencucian uang, dimana  pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money trial) atau transaksi keuangan. Pendekatan ini tidak terlepas dari suatu pendapat bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan. Makalah ini akan membahas bagaimana penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui penerapan Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003 dan peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam membantu upaya memerangi tindak pidana asal (predicate crime) di Indonesia. 
B.  Skema Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia      
Sebelum lebih spesifik membahas bagaiamana penanganan tindak pidana pencucian uang, perlu terlebih dahulu secara singkat diuraikan mengenai rezim anti pencucian uang di Indonesia.  Rezim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai komponen, yaitu :
1.      Sektor keuangan (financial sector) yang terdiri dari pihak pelapor (reporting parties-penyedia jasa keuangan) dan pengawas & pengatur industri keuangan. Walaupun tidak termasuk dalam sistem keuangan dan pihak pelapor, Ditjen Bea dan Cukai dapat dikelompokkan dalam sektor ini karena berperan dalam menyampaikan laporan kepada PPATK. Namun apabila dilihat dari kewenangannya, dapat juga Ditjen Bea dan Cukai dimasukkan dalam sector law enforcement.
2.      PPATK sebagai intermediator (penghubung) antara financial sector  dan  law enforcement/judicial sector. Dalam kedudukan ini, PPATK berada di tengah-tengah antara sektor keuangan dan sector penegakan hukum untuk melakukan seleksi melalui kegiatan analisis terhadap laporan (informasi) yang diterima, yang hasil analisisnya untuk diteruskan kepada  penegak hokum. Dalam kegiatan analisis tersebut, PPATK menggali informasi keuangan dari berbagai sumber baik dari instansi dalam negeri maupun luar negeri.
3.      Sektor penegakan hukum (law enforcement/judicial sector) yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan. Hasil analisis yang diterima dari PPATK, inilah yang menjadi dasar dari penegak hokum untuk diproses sesuai hokum acara yang berlaku.      
Di samping itu, terdapat pihak lain yang mendukungnya yaitu Presiden, DPR, Komite Koordinasi TPPU, Publik, lembaga internasional dan instansi terkait dalam negeri seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Kehutanan dan sebagainya.       
Di bawah ini diuaraikan secara singkat peran, tugas dan tanggung jawab setiap komponen tersebut. 
 skema-ml.gif
1.   Pihak Pelapor atau Penyedia Jasa Keuangan (Reporting Parties)UU TPPU mendefinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodion, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU TPPU. 2.   Pengawas dan Pengatur Industri Keuangana.      Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah bank sentral yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan kebijakan moneter, memelihara dan mengatur system pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank. Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, sesuai UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 tahun 1998 Bank Indonesia memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap bank (Bank Umum dan BPR).
Sebagai otoritas pengawas bank, Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan anti-money laundering  (AML) policy, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan KYC principles.       b.  BAPEPAM (Capital Market Supervisory Agency) – Lembaga KeuanganPedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal dan lembaga keuangan non bank menjadi tanggung jawab BAPEPAM – Lembaga Keuangan agar kegiatan pasar modal dan lembaga keuangan dilaksanakan secara fair dan efisien serta dapat melindungi kepentingan investor dan public sebagaimana diatur dalam UU  No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk kegiatan pasar modal dan peraturan perundang-undangan lain untuk kegiatan lembaga keuangan non bank.  Di samping itu, sebagai regulator Bapepam- Lembaga Keuangan juga turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri pasar modal dan lembaga keuangan. 2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK)PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelijen di bidang keuangan (financial intelligence unit-FIU) yang dipimpin oleh seorang Kepala dan dibantu oleh 4 Wakil Kepala. Dalam Pasal 26, PPATK antara lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. 3.  Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan)Berdasarkan laporan hasil analisis PPATK, Kepolisian selaku penyidik melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk membuat terang suatu kasus dengan mencari bukti untuk menentukan apakah terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang atau tidak. Apabila dalam penyidikan diperoleh bukti yang cukup, selanjutnya berkas perkara diteruskan kepada Kejaksaan untuk pembuatan dakwaan atau tuntutan dalam sidang pengadilan.4.   Presiden, DPR, Publik dan Komite Koordinasi TPPUDi samping DPR, setiap 6 bulan sekali Presiden menerima laporan kinerja pembangunan rezim anti pencucian uang dari PPATK. Laporan ini akan digunakan oleh Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi pembangunan rezim anti pencucian uang guna menetapkan kebijakan umum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.  Sementara itu, laporan kinerja PPATK khususnya dan pembangunan rezim anti pencucian uang pada umumnya juga dilaporkan ke publik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas PPATK. Mengingat badan pelaksana (implementing agency) pembangunan rezim anti pencucian uang cukup banyak, diperlukan koordinasi yang efektif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden No.1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004 dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,  yang diketuai oleh Menko Polhukkam, Wakil Ketua Menko Perekonomian, sekeretaris Kepala PPATK, dan beranggotakan 17 pimpinan instansi terkait. C. Pengertian dan Pola Tindak Pidana Pencucian Uang serta Hubungannya dengan Tindak Pidana Asal1.  Pengertian           Pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 UU TPPU, pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. UU TPPU telah membatasi bahwa hanya harta kekayaan yang diperoleh dari 24 jenis tindak pidana dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman 4 tahun penjara atau lebih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, yang dapat dijerat dengan sanksi pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan Pasal 6. 2.  Pola tindak pidana pencucian uang            Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukupcomplicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni : placement, layeringdan integration.            Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan ke dalam system keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.            Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang.            Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate  explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui placement maupunlayering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. 3. Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana lainnyaHubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat bahwa tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”). Sesuai dengan Pasal 1 UUTPPU yang telah diuraikan di atas, semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang.Di lain pihak, pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang beridiri sendiri (independent crime) karena delik pidana pencucian uang telah dirumuskan secara mandiri sesuai Pasal 3 dan 6 UU TPPU. Proses tindak pidana pencucian uang tidak harus menunggu adanya putusan pidana atas tindak pidana asal (predicate crime). Hal ini tepat sekali karena memang di dalam Pasal 3 dan 6 UUTPPU, perumusannya “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan” dan bukan “harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan”. Dengan demikian, hanya cukup dengan dugaan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari hasil tindak pidana maka pidana pencucian uang dapat diterapkan sepanjang seluruh unsur pidananya dan proses acara pidananya telah terpenuhi (lihat penjelasan Pasal 3 ayat 1 UUTPPU). D. Mekanisme Penanganan Perkara Pencucian UangProses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu PPATK. Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi. Proses penanganan tersebut adalah sebagai berikut :  1.  Peran Penyedia Jasa Keuangan (PJK), FIU dan MasyarakatPeran utama PJK, FIU negara lain dan masyarakat dalam penanganan perkaran pencucian uang adalah memberikan informasi awal. Laporan dan informasi tersebut adalah :a.   Laporan dari PJKSebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Sesuai Pasal 1 angka 7 UUTPPU, LTKM adalah :-         transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan-         transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang;-        transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT  dari PJK.Dalam kaitan ini, maka didalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang peran PJK sangat membantu baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak hukum untuk mentrasir aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum.b.   Laporan dari masyarakatWalaupun UU tidak mengatur kewenangan PPATK untuk menerima informasi dari masyarakat, namun berbagai informasi adanya indikasi tindak pidana sering diterima PPATK. Atas informasi ini, Direktorat Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Informasi dari masyarakat ini diterima PPATK melalui surat secara tertulis dan melalui media internet (www.ppatk.go.id , icon : contuct-us@ppatk.go.id).c.   Informasi dari aparat penegak hukumDalam penanganan suatu perkara oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui berbagai perbuatan khususnyamelalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri.   d.  Informasi dari Financial Intelligence Unit negara lainBerdasarkan hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU negara lain yang menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana lainnya. Informasi ini baik diminta atau tidak diminta sesuai dengan standar pertukaran informasi dalam prinsip paguyuban FIU seluruh dunia yang tergabung dalam suatu wadah yang dikenal dengan Egmont Group. 2.  Peran PPATKMenurut Pasal 26 UU TPPU tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping itu, PPATK dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia  Jasa Keuangan (PJK).Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pada dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk menghubungkan (”association)” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan kejahatan asal melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan, yang pada akhirnya akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si penjahat. Proses pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap placement,layering maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi asosiasi antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah terdeteksi dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam rangka mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang terkait. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan (STR-suspicious transaction report) dan transaksi keuangan tunai (CTR-cash transaction report).Sedangkan Pasal 27 UUTPPU memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain:meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes) khusunya korupsi. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporan hasil analisisnya kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan (Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK harus menjalin kerjasama yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK, sharing informasi dengan instansi pemerintah atau dapat juga berasal darisharing information dengan FIU dari negara lain sebagaimana telah diuraikan di atas.Berdasarkan angka statistik per 31 Agustus 2005, PPATK telah menerima sebanyak 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dari 95 bank umum dan 1 BPR, 4 perusahaan efek, 9 pedagang valas, 1 dana pensiun, 3 lembaga pembiayaan, 1 manajer investasi dan 5 perusahaan asuransi.  Jumlah penyedia jasa keuangan yang telah menyampaikan laporan tersebut dirasakan belum optimal dibandingkan dengan jumlah PJK lebih dari 2.000 perusahaan. Dari 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan tersebut, PPATK telah melakukan analisis dengan menambahkan data dan informasi yang mendukung, dan hasilnya telah diserahkan kepada Kepolisian sebanyak 330 kasus yang merupakan hasil analisis dari 616 LTKM dan kepada Kejaksaan sebanyak 3 kasus yang merupakan hasil analisis dari 11 LTKM. F.  Proses Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tidan pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana seperti proses penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan khusus ini tentu memberikan keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :1.      Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai laporan atau informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam mendeteksi upaya penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang atau harta yang merupakan hasil tindak pidana korupsi  pada sistem keuangan atau perbankan. Hal ini karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari seluruh laporan-laporan yang ada dan memberikan informasi mengenai indikasi hasil tindak pidana, perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan pidana yang terkait. 2.     Pasal 39 sampai 43 UU TPPU memberikan  perlindungan saksi dan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi lebih efektif.  Perlindungan ini antara lain  berupa kewajiban merahasiakan identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi  pihak yang membocorkan dan perlindungan khusus oleh negara  terhadap kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk keluarganya. 3.      Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). 4.     Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK untuk memperoleh keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base dan hasil analisis  yang dimiliki FIU/PPATK.Di samping ketentuan yang telah diuraikan di atas, pasal 30 sampai dengan 38 UU TPPU secara khusus telah mengatur proses hukum tindak pidana pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses hukum) tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini tercermin dari ketentuan mengenai pemblokiran harta kekayaan, permintaan keterangan atas harta kekayaan, penyitaan, alat bukti dan tata cara proses di pengadilan.1.   PemblokiranUU TPPU tidak mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam UU TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang dapat diblokir oleh penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan dan bukan rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau besarnya harta kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula Berita Acara pemblokiranDalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut tidak boleh berkurang.Jumlah dana yang ada pada rekening untuk sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai “kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian.”Mengenai tata caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis dan jelas dengan menyebutkan point-point yang diatur dapal Pasal 32 ayat (2) UU TPPU dengan tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal UU TPPU yang diduga dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana perbankan.2. Permintaan keterangan (membuka rahasia bank)Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan dari Kapolri/Jaksa Agung/Ketua Mahkamah Agung untuk meminta izin dari Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi, menurut UU No. 31 Tahun 1999,  tetap diperlukan permohonan dari Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29). Dengan demikian, ketentuan dalam UU TPPU  dapat mempercepat upaya untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi.Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang dapat dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia bank  yaitu : 1) pihak yang telah dilaporkan oleh PPATK, 2) tersangka dan 3) terdakwa.  Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan kepada bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi kepada Gubernur Bank Indonesia.Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain yang diduga terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana, sedangkan orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka hal-hal yang perlu dilakukan penyidik, antara lain :·        Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya dilaporkan ke penyidik untuk ditindaklanjuti. ·        Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.·        Penyidik meminta izin kepada Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam bentuk surat tertulis dengan syarat :·        ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4) UU TPPU·       menyebutkan maksud dan tujuan permintaan informasi, antara lain : status permintaan informasi (untuk penyidikan atau penuntutan); tindak pidana yang disangkakan/ didakwakan (dugaan TPPU berikut predicate crime-nya); identitas seseorang; tempat harta kekayaan (cabang Bank tertentu); nomor rekening (jika ada); dan periode transaksi yang dilakukan.Surat dari penyidik ke bank/PJK perihal permintaan informasi/keterangan terkait dengan tindak lanjut STR dengan tembusan ke PPATK. Dalam hal tindak lanjut STR tersebut terkait dengan tindak pidana perbankan, surat tersebut ditembuskan baik ke PPATK dan Bank Indonesia.Untuk mengurangi intensitas hubungan langsung penegak hukum ke PJK dalam rangka TPPU, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan sejak nasabah bank yang bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjadi fasilitator antara PJK dengan penegak hukum.3.   PenyitaanDana yang disita tetap berada dalam rekening di bank yang bersangkutan (bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No.KEP-126/JA/11/1997, No.KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. Dalam mengungkap fakta bahwa seseorang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan dimaksud berasal dari hasil tindak pidana, penyidik dapat menjelaskan dengan pendekatan bahwa :-         Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya seseorang itu benar mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal dari hasil tindak pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri, dilakukan bersama-sama dengan orang lain atau dilakukan orang lain.-         Patut menduga artinya culva atau alfa, subyek lalai dalam menilai terhadap harta kekayaan. -         Di samping itu, patut menduga dapat dilihat pula dari kecakapan seseorang, artinya seseorang tersebut harus memiliki kapasitas untuk dapat dinilai apakah lalai atau tidak-         Secara praktis, untuk dapat menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya atau patut diduganya berasal dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari :ü     apakah transaksi yang dilakukan sesuai profile?ü      apakah seseorang tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya?ü      apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying transaksinya?Terlepas dari hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU TPPU, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU, terhadap unsur “harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnyaPembuktian tersebut menjadi tanggung jawab (beban)  terdakwa saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai Pasal 35 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.Berkenaan dengan pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan komulatif tidak ada masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul masalah karena dipisah pemberkasannya. Seringkali satu alat bukti digunakan terhadap kedua kasus (predicate crime dan money laundering). Dalam common law system, apabila proses pidana menyimpang dari due process of law (hukum acara) maka proses hukum gugur/batal. Selanjutnya, setelah selesai penyidikan dilakukan, penyidik meneruskan pada Jaksa Penuntut Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi Jaksa selaku penuntut umum dalam menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan dalam sidang pengadilan dalam menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.(Pasal 35 UU TPPU). Di samping itu, JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan dengan menerapkan pasal pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau pidana pencucian uang)Dalam hal penyusunan dakwaan selesai dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah proses persidangan di pengadilan. Beberapa keuntungan dalam menerapkan UUTPPU dalam proses pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :
  1. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
  2. Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana pencucian uang  “pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai pada kebenaran formal daripada material.
  3. Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus bagi saksi dan Pelador. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti dilakukan antara lain :
-         Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank (permintaan bukan ditujukan pada nama pejabat bank)-         kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu)-         tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (a.l. laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya). F. PenutupPPATK sebagai lembaga intelijen keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi keuangan lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat memenuhi informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar informasi.            Ketentuan yang mengatur mengenai proses hukum (hukum acara) tindak pidana pencucian uang menjadi kunci sukses dalam menindak lanjuti setiap hasil analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam sidang pengadilan, sehingga pelaku tindak pidana tidak bisa menghindar dari ancaman hukuman dan hasil tindak pidananya dapat dirampas untuk negara.

0 komentar:

Posting Komentar