Jumat, 26 Juli 2013

Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Dalam Hukum

Polisi adalah hukum yang hidup, ketika masing-masing kita memahami hukum dengan baik, maka polisi dapat menjadi baik sebagai sebuah institusi maupun sebagai pelaksana hukum akan dapat menjadikan hukum itu sebagai sarana dalam menjaga peradaban sebuah bangsa. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian hukum dan unsur kemanfaatan.[1] Jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukumnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan unsur keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga harus di korbankan dan begitu selanjutnya.  Itulah yang disebut antinomy yaitu sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.[2] Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara seimbang antara ketiga unsur tersebut[3]. 
Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain[4]. 
Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusan yang adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibanya sering akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi orang tertentu terpaksa harus dikorbankan. 
Hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut[5] . Sebagai suatu sistem, Lawrence M Friedman, membagi sistem hukum atas sub-sub sistem yang terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture)[6].
Struktur hukum merupakan institusi pelaksana (penegak) hukum atau bagian-bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Substansi hukum adalah norma-norma hukum yang berlaku, yang mengatur bagaimana seharusnya masyarakat berperilaku, atau hasil aktual yang diterbitkan oleh suatu sistem, sedangkan Budaya hukum adalah nilai-nilai individualism atau masyarakat yang mendorong bekerjanya sistem hukum[7]. Ketiga elemen tersebut merupakan unsur sistem hukum, maka semua itu mau tidak mau menjadi areal garapan serentak wilayah pengembangan teori tentang hukum. Jelasnya teori hukum dapat dikembangkan baik pada wilayah substansi hukum maupun pada wilayah struktur dan budaya hukum itu sendiri[8]. 

Unsur Keadilan Dalam Hukum 
Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan keputusan yang mengandung kebenaran, tidak memihak, dapat dipertanggung jawabkan dan memperlakukan setiap manusia pada kedudukan yang sama didepan hukum. Perwujudan keadilan dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat, bernegara dan kehidupan masyarakat internasional, ditunjukkan melalui sikap dan perbuatan yang tidak berat sebelah dan memberikan sesuatu kepada orang lain yang menjadi haknya.[9] Keadilan dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada norma-norma, baik norma agama maupun norma hukum. 
Keadilan menurut Teori hukum Islam adalah merupakan proposionalitas antara hak dan kewajiban setiap manusia dalam peran dan kedudukan yang plural serta kedekatan dengan Allah SWT.[10]
Di dalam norma agama, terdapat beberapa ayat dalam al-Quran yang berisi tentang kemaslahatan dan keadilan yang merupakan inti dari hukum islam diantaranya terdapat dalam surat :
An-Nissa ayat 58 “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat” dan
An-Nissa ayat 135 “wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” ;
Al-Maidah ayat 8 “hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengatahui apa yang kamu kerjakan”.[11] Sedangkan dalam norma hukum sendiri, kesemuanya diatur dalam undang-undang hukum yang berlaku. 
Menurut L.J.van Apeldorn bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Asas keadilan tidak menjadikan persamaan hakiki dalam pembagian kebutuhan-kebutuhan hidup. Hasrat akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan.[12] 
Menurut W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Besar bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan tidak berat sebelah (tidak memihak). Dapat diuraikan lebih rinci lagi bahwa adil itu dengan tidak berat sebelah. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya kita harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada kita.[13] 
Sedangkan menurut Kahar Mansur mengemukakan ada tiga hal yang dinamakan adil:
(1) "Adil" ialah: meletakan sesuatu pada tempatnya.
(2) "Adil" ialah: menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.
(3) "Adil" ialah: memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.[14]
Menurut Aristoteles bahwa keadilan disini adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya (ius suum cuique tribuere).  Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Menurutnya bahwa keadilan dibagi menjadi 2 yaitu keadilan korektif, keadilan yang didasarkan pada transaksi, baik sukarela maupun tidak, dan berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Dan keadilan distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau penghargaan, yang berfokus pada distribusi, honor, kekayaan dan barang-barang lain yang sama-sama didapatkan dalam masyarakat. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Sedangkan keadilan distributif ini menekankan pada studi keseimbangan antara bagian yang diterima seseorang dituangkan dalam bentuk putusan dan penemuan tersebut merupakan sumber hukum.
Dengan mengesampingkan ‘pembuktian’ matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Penemuan hukum itu sendiri diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu[15].
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusaan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.[16]
Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.[17] Pedoman-pedoman yang obyektif berasal dari groundnorm (norma dasar). Groundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini adalah Negara). Groundnorm merupakan syarat transendentals-logis berlakunya seluruh tata hukum dan seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hinarki pada groundnorm[18].
Keadilan sosial ala John Rawl dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial ekonomi dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seseprang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas[19].
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang lemah. Hal ini akan terjadi apabila dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak[20].
Jadi Teori Keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut :[21]
1.      Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.
2.      Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social goods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3.      Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelaahiran dan kekayaan.
John Rawls menegaskan bahwa penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberikan hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun bagi yang kurang beruntung.[22] 
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-keuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[23]

Unsur Kepastian Dalam Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.[24]
Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada pasal 28D ayat 1 Undang–Undang Dasar 1945 perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.[25] 
Tentang kepastian hukum menurut Bismar Siregar didalam KUHAP ternyata lebih menitikberatkan kepada kepastian hukum dan perlindungan hak terdakwa dari penegak keadilan itu sendiri. Selanjutnya bahwa hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih peka terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat. Singkatnya bahwa hakim tidak boleh terasing dari masyarakat. Seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan[26].
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan dan dilaksanakan dengan pasti oleh Negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.
Namun demikian, pada paradikma positivistik bahwa sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan hanya sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan, demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Pandangan positivistik yang telah mereduksi hukum sehingga telah menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik maka apabila dilihat lagi hukum tidak lagi sebagai pranata manusia melainkan hanya sekedar media profesi.[27]Akan tetapi karena sifatnya yang determistik, maka aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi ketertiban bermasyarakat yang merupakan suatu keharusan. Karena tanpa kepastian hukum, setiap orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.
Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.[28]
Menurut Friedrich Julius Stahl[29], seorang pelopor hukum Eropa Kontinental, ciri sebuah Negara hukum antara lain adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep Negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial maka Negara juga harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis[30].
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.[31]
Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar
skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan.[32] Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).[33]

KEMANFAATAN HUKUM (ZWECKMAESZIGKEIT)
Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna.[34] Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen hukum itu sendiri adalah suatu sollenskategorie (kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori faktual). Yang maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah ‘bagaimana hukum itu seharusnya’ (what the law ought to be) melainkan ‘apa hukumnya’ (what is the law)[35].
Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum (zweckmasiggkeit) sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai prevensi khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali melakukan perbuatan melawan hukum, dan prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak melanggar hukum karena akan dikenakan sanksinya. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Di dalam tujuan hukum Islam pada prinsipnya bagaimana mewujudkan "kemanfaatan" kepada seluruh umat manusia, yang mencakupi "kemanfaatan" dalam kehidupan di dunia dan di akherat. Tujuan mewujudkan "kemanfaatan" ini sesuai dengan prinsip umum Al-Qur'an:
a.  Al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi al-mudar al man'u (segala yang bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilaranng).
b. La darara wala dirar (jangan menimbulkan kemudaratan dan jangan menjadi korban kemudaratan).
c. Ad-Darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).[36]
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri[37].
Sedangkan kemanfaatan hukum menurut Jeremy Betham bahwa alam telah menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dan dua penguasa, yakni suka dan duka. Untuk dua raja itu juga menentukan apa yang akan kita lakukan dan apa yang mesti dilakukan. Dua raja itu juga menentukan apa yang akan kita lakukan, apa yang akan kita katakan dan apa yang kita pikirkan. Hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk menyokong si ‘raja suka’, dan serentak mengekang si ‘raja duka’. Dengan kata lain, hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia[38] Jeremy Bentham,  sebagai penganut aliran utilistik, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang.
Hukum bertujuan untuk "the greatest happiness of the greatest number". Tujuan perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan:
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).
b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).
d. To attain equility (untuk mencapai persamaan).[39]
John Stuart Mill mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya ditujukan terhadap pencapaian kebahagian, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagian, dengan kalimat lain; "Action are right in proportion as they tend to promote man's happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of happiness".[40]





[1]  Penegakan Hukum, http://wonkdermayu.wordpress.com./kuliah-hukum/penemuan-hukum-atau-rechtsving/, tanggal 20 Oktober 2012, jam 11.05 wib.
[2]  Teori Radburch tentang Tujuan Hukum, http://bunga-legal.blogspot.com/2010/02/teori-tujuan-hukum.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2012, jam 11.10 wib.
[3]  Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum hal 161, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010 .
[4]  Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, diakses darihttp://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/TEORIKEADILAN%20PERSPEKTIF20FILSAFAT%20HUKUM%20ISLAM.pdf, tanggal 19 Oktober 2012, 15.55 wib.
[5]  Sudikno Mertokusumo, loc cit hal 122
[6]  Teori Hukum Lawrence M Friedman tentang Pembagian Sistem Hukum,http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2288470-pengertian-sistem-hukum/, tanggal 2 November 2012, jam 17.00 wib.
[7]  Materi Kuliah Prof. Dr. Marsudi Triadmodjo, SH, Teori Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jakarta.
[8]  Bernard L. Tanya 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing Yogyakarta hal 11.
[9]  Makna Keadilan, diakses dari http://id.shvoong.com/social-sciences/2193610-makna-keadilan/, tanggal 4 November 2012,  jam 8.05 wib.
[10]  Marsudi Triadmodjo, Materi Kuliah Teori Hukum, tanggal 14 September 2012..
[11]  Kemaslahatan dan Keadilan menjadi inti dari hukum Islam. Ini diwujudkan dengan banyaknya ayat al-Quran yang berisi tentang kemaslahatan dan keadilan. Diantaranya yaitu : An-Nisaa’:58; An-Nisaa’:135 dan Al-Maidah:8
[12]  L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Xxx, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004, hal 11.
[13]  Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2150830-devinisi-keadilan-menurut-para-ahli/, tanggal 4 November 2012,  jam 8.15 wib.
[14]  Kahar Mansyur, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, 1985, hal. 71.
[15]  Carl Joachim Friedrich,  Loc cit hal 24.
[16]  Ibid hal 26-27.
[17]  Teori Keadilan Aristoteles : Theo Huijibers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta, kanisius, 1995 hal 196
[18]  Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2010 hal 127.
[19]  Teori Keadilan Sosial ala John Rawls, A Theory of Justice, Publisher: Belk n ap Press, 1999.
[20]  Ibid.
[21]  Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory of Justice,http://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-juctice/, tanggal 18 oktober 2012, jam 15.00 wib.
[22]  Konsep Keadilan Sosial menurut John Rawls,http://insanicita.blogspot.com/2012/03/konsep-keadilan-sosial-menurut-john.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2012, jam 15.15 wib.
[23]  Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 239.
[24]  Apa itu kepastian hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, tanggal 20 Oktober 2012, jam 11.00 wib.
[25]  Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945,http://anggimartika.blogspot.com/2012/03/kepastian-sebagai-tujuan-hukum.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2012, jam 11.15 wib.
[26]  Bismar Siregar – Sang “Pengadil” Yang Progresif, http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2012, jam 11.30 wib.
[27]  Positivisme Hukum di Indonesia dan Perkembangannya,http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/08/positivisme-hukum-di-indonesia-dan.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2012, jam 11.40 wib.
[28]  "Kepastian Hukum", diakses dari http://www.surabayapagi.com/index.php?3bca0a43b79bdfd9f9305b812982962e5ebad017dee37f007e56da92eb74d56,  tanggal 21 November 2012, jam 14.00 wib.
[29]  Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, cet. Pertama hal 27.
[30]  Konstitusi kita menganut konsep Negara Hukum yang Demokratis dapat dilihat dalam ketentuan pasal 28  I ayat (5) yang berbunyi : ‘Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan’. (hasil perubahan kedua).
[31]  Mochtar Kusumaatmadja,  Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum hal. 3.
[32]  Dr. Fahmi, SH.MH, Kepastian Hukum, hal 21, mengutip Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum Progresif’,  Harian Kompas, Media Oktober 2006, hal 17
[33]   Satjipto Rahardjo, ibid hal 4.
[34]  Kamus Bahasa Indonesia, http://m.artikata.com/arti-339692-manfaat.html, tanggal 28 Oktober 2012, jam 11.00 wib.
[35]  Teori Hukum Murni,  Hans Kelsen hal 15.
[36]  Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), hal. 216-217.
[37]  Sudikno Mertokusumo, tentang kemafaatan hukum, hal 161.
[38]  Kemanfaatan hukum menurut Jeremy Betham, “Tanya, dkk, oleh Bernard L”.
[39]  Ibid , hal.76-78.
[40]  Ibidhal 78

0 komentar:

Posting Komentar