Struktur Kepolisian

ORGANISASI POLRI

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

PERATURAN KAPOLRI NOMER 14 TAHUN 2012

Jumat, 31 Mei 2013

Info Kesahatan

Bypass jantung..?
Kolesterol/darah tinggi..?
Tolong diteruskan kepada keluarga dan teman 
(Mudah membuatnya sendiri)
Berguna melebarkan pembuluh darah Vena Jantung:
* 1 gelas sari / airLemon 
* 1 gelas sari / air Jahe
* 1 gelas sari / air Bawang putih
* 1 gelas sari / air Apple Viniegra

Cara mengolahnya:
* Campur semuanya dan didihkan
  dengan perlahan-lahan 
  (apikecil).
* Biasanya sekitar 1/2 jam, untuk 
  menjadi 3 gelas.
* Saring dan biarkan menjadi
  dingin.
* Setelah dingin, tambahkan 3
  gelas Madu alami, diaduk
  sampai merata dan simpan
  dalam botol.

Anjuran pakai:
* Minumlah 1 sendok makan
  setiap pagi sebelum sarapan.

Penyempitan/sumbatan pembuluh darah Vena akan terbuka.
Sekarang tidak diperlukan lagi operasi Angioplasty atau Bypass... ternyata 
Kesaksian para pemakai terutama akademisi UI telah membuktikan khasiatnya ( tdk usah pasang ring) minum 2 btl selama 3bln : 
- berjalan tanpa cape berlebihan. 
- Sakit dada seb kiri jika capek juga hilang.
Semoga bermanfaat........

Nasihat Karir dari Warren Buffet


Siapa tak kenal Warren Buffet? Investor berusia 82 tahun ini adalah orang terkaya di dunia versi majalah Forbes dengan nilai aset US$ 53,5 miliar. Sebagai seorang kepala eksekutif (CEO), Buffet mendapat gaji US$ 100 ribu per tahun.
Dengan pencapaian tersebut, Buffet tentu banyak makan asam garam dalam menjalani karir dan mengelola perusahaan. Dia pun tentu mengetahui cara paling optimal untuk memanfaatkan potensi setiap bawahannya. Sebagai seorang eksekutif, Buffet pasti memiliki ekspektasi tertentu terhadap karyawannya.
Saat berbicara sebagai mentor dalam acara Office Hours Session with Levo League, Buffet membagi tips dan pengalaman personal tentang cara meniti karir. Pemilik firma investasi Berkshire Hathaway ini membagi beberapa kiat. Berikut diantaranya.
1. Temukan gairah dan minat Anda
Buffet mengatakan seorang profesional harus bisa menemukan karir yang pas untuk dirinya. Terkadang, hal ini mengesampingkan gaji atau kompensasi yang bakal diterima. Namun hal tersebut bisa terbayar jika seseorang menghasilkan produk berkualitas, karena memiliki minat yang besar untuk menciptakannya.
2. Berkomunikasi secara efektif
Buffet mengaku pernah minder dan trauma saat harus berbicara di depan umum. Hal ini terjadi bahkan ketika dia sudah menyabet gelar MBA! Namun Buffet tak berkecil hati dan mengambil kursus public speaking sehingga kekurangan ini bisa diatasi. "Caranya sederhana, berkomunikasilah secara efektif."
3. Memahami perilaku orang lain
Seorang profesional dituntut untuk bisa memahami perilaku dan sikap orang lain, baik itu bos, klien maupun rekan sekerja. Dengan demikian orientasi kinerja seorang profesional akan lebih terarah.
4. Belajar untuk mengatakan tidak
Hal ini berlaku untuk perbuatan yang tidak baik dan menyia-nyiakan waktu. Katakan tidak untuk hal mengganggu produktifitas.
5. Jangan bekerja dalam lingkungan yang tidak adil
Seseorang hanya bisa bersikap profesional jika berada di lingkungan kerja yang profesional. Termasuk dalam hal tunjangan, gaji dan kompensasi lainnya. Buffet pun menyarankan setiap profesional untuk memilih tempat kerja yang bisa menampung minat, bakat serta memberi imbal balik yang sepadan.

Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia


A.     Pendahuluan
Sekian banyak para cendekia dan pengamat memandang bahwa persoalan penegakan hukum khususnya dalam penanganan perkara yang lemah menjadi penyebab utama keterpurukan negara Indonesiadewasa ini. Hal ini tidak dapat dipungkiri apabila melihat fenomena yang terjadi seperti isu penanganan perkara yang bersifat tebang pilih, kurangnya political will dan moral hazard dari pemegang kekuasaan serta belum harmonisasinya seluruh ketentuan perundang-undangan yang ada. Lebih dari itu, maka mudah ditebak bahwa akhir dari penegakan hukum tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.Dampak dari semua itu tentu membawa keterpurukan negara yang berkepanjangan dalam berbagai segi, diantaranya rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pengangguran, dan kemiskinan yang pada akhirnya memicu peningkatan angka kriminalitas. Di samping itu, dapak lainnya antara lain adalah relatifnya rendahnya tingkat kompetisi perdagangan, dan kurangnya insentif yang menyebabkan iklim  berusaha tidak dapat berjalan secara kondusif.
Dari sisi penegakan hukum, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk pencegahan dan pemberantasan berbagai tindak pidana, seperti tindak pidana korupsi. Berbagai upaya tersebut antara lain penerbitan Keppres No.228/1967, pembentukan TGTPK dan KPKPN dan terakhir adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun demikian, dengan upaya ini belum dapat dikatakan kita telah berhasil mengatasi permasalahan penegakan hukum, tercermin dari publikasi yang memuat pemeringkatan negara terkorup yang dikeluarkan oleh Transparancy International dan PERC (Political and Economic Research Consulting) yang selalu menempatkan Indonesai dalam posisi terburuk[1]. Sementara itu,Country Manager International Finance Corporation (IFC), German Vegarra dalam laporan Doing Business in 2006 yang disusunInternational Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa dari hasil survey kemudahan berbisnis di 166 negara, Indonesia menduduki peringkat bawah. Survei yang dilakukan mencakup tujuh paket indikator iklim bisnis, yaitu memulai bisnis, mempekerjakan, menghentikan pegawai, menetapkan kontrak kerja, mendaftarkan property, memperoleh kredit, melindungi investor dan menutup usaha. Di samping itu, indikator lain adalah pembayaran pajak, lisensi usaha dan perdagangan antar batas Negara. Hal-hal yang melemahkan posisi Indonesia (tahun lalu Indonesia masuk urutan 115 negara dari 145 negara) adalah  tingkat kesadaran membayar pajak, dan jumlah hari serta prosedur untuk menetapkan kontrak cukup lama, yaitu 570 hari dengan 34 prosedur (sementara Malaysia hanya 300 hari dan 31 prosedur, dan Singapura hanya 69 hari dengan 23 prosedur)[2].  Apa yang telah dilakukan di atas masih terbatas dalam lingkup korupsi dan belum menyentuh tindak pidana lain khususnya tindak pidana yang menghasilkan uang atau harta kekayaan seperti penyuapan, penyelundupan, perbankan, pasar modal, dan lainnya, baik yang melibatkan sektor pemerintahan maupun swasta. Diakui atau tidak bahwa dalam pemberantasan tindak pidana selama ini menghadapi kendala baik teknis maupun non teknis. Pendekatan dalam pemberantasan tindak pidana – tindak pidana selama ini lebih menitikberatkan bagaimana menjerat pelaku tindak pidana dengan mengidentifikasi perbuatan pidana yang dilakukan. Sejak April 2002 telah diperkenalkan sistem penegakan hukum yang relatif baru sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan persoalan di atas bukan hanya karena metode yang digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Sistem dimaksud adalah rezim anti pencucian uang, dimana  pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money trial) atau transaksi keuangan. Pendekatan ini tidak terlepas dari suatu pendapat bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan. Makalah ini akan membahas bagaimana penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui penerapan Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003 dan peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam membantu upaya memerangi tindak pidana asal (predicate crime) di Indonesia. 
B.  Skema Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia      
Sebelum lebih spesifik membahas bagaiamana penanganan tindak pidana pencucian uang, perlu terlebih dahulu secara singkat diuraikan mengenai rezim anti pencucian uang di Indonesia.  Rezim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai komponen, yaitu :
1.      Sektor keuangan (financial sector) yang terdiri dari pihak pelapor (reporting parties-penyedia jasa keuangan) dan pengawas & pengatur industri keuangan. Walaupun tidak termasuk dalam sistem keuangan dan pihak pelapor, Ditjen Bea dan Cukai dapat dikelompokkan dalam sektor ini karena berperan dalam menyampaikan laporan kepada PPATK. Namun apabila dilihat dari kewenangannya, dapat juga Ditjen Bea dan Cukai dimasukkan dalam sector law enforcement.
2.      PPATK sebagai intermediator (penghubung) antara financial sector  dan  law enforcement/judicial sector. Dalam kedudukan ini, PPATK berada di tengah-tengah antara sektor keuangan dan sector penegakan hukum untuk melakukan seleksi melalui kegiatan analisis terhadap laporan (informasi) yang diterima, yang hasil analisisnya untuk diteruskan kepada  penegak hokum. Dalam kegiatan analisis tersebut, PPATK menggali informasi keuangan dari berbagai sumber baik dari instansi dalam negeri maupun luar negeri.
3.      Sektor penegakan hukum (law enforcement/judicial sector) yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan. Hasil analisis yang diterima dari PPATK, inilah yang menjadi dasar dari penegak hokum untuk diproses sesuai hokum acara yang berlaku.      
Di samping itu, terdapat pihak lain yang mendukungnya yaitu Presiden, DPR, Komite Koordinasi TPPU, Publik, lembaga internasional dan instansi terkait dalam negeri seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Kehutanan dan sebagainya.       
Di bawah ini diuaraikan secara singkat peran, tugas dan tanggung jawab setiap komponen tersebut. 
 skema-ml.gif
1.   Pihak Pelapor atau Penyedia Jasa Keuangan (Reporting Parties)UU TPPU mendefinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodion, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU TPPU. 2.   Pengawas dan Pengatur Industri Keuangana.      Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah bank sentral yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan kebijakan moneter, memelihara dan mengatur system pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank. Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, sesuai UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 tahun 1998 Bank Indonesia memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap bank (Bank Umum dan BPR).
Sebagai otoritas pengawas bank, Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan anti-money laundering  (AML) policy, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan KYC principles.       b.  BAPEPAM (Capital Market Supervisory Agency) – Lembaga KeuanganPedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal dan lembaga keuangan non bank menjadi tanggung jawab BAPEPAM – Lembaga Keuangan agar kegiatan pasar modal dan lembaga keuangan dilaksanakan secara fair dan efisien serta dapat melindungi kepentingan investor dan public sebagaimana diatur dalam UU  No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk kegiatan pasar modal dan peraturan perundang-undangan lain untuk kegiatan lembaga keuangan non bank.  Di samping itu, sebagai regulator Bapepam- Lembaga Keuangan juga turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri pasar modal dan lembaga keuangan. 2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK)PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelijen di bidang keuangan (financial intelligence unit-FIU) yang dipimpin oleh seorang Kepala dan dibantu oleh 4 Wakil Kepala. Dalam Pasal 26, PPATK antara lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. 3.  Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan)Berdasarkan laporan hasil analisis PPATK, Kepolisian selaku penyidik melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk membuat terang suatu kasus dengan mencari bukti untuk menentukan apakah terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang atau tidak. Apabila dalam penyidikan diperoleh bukti yang cukup, selanjutnya berkas perkara diteruskan kepada Kejaksaan untuk pembuatan dakwaan atau tuntutan dalam sidang pengadilan.4.   Presiden, DPR, Publik dan Komite Koordinasi TPPUDi samping DPR, setiap 6 bulan sekali Presiden menerima laporan kinerja pembangunan rezim anti pencucian uang dari PPATK. Laporan ini akan digunakan oleh Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi pembangunan rezim anti pencucian uang guna menetapkan kebijakan umum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.  Sementara itu, laporan kinerja PPATK khususnya dan pembangunan rezim anti pencucian uang pada umumnya juga dilaporkan ke publik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas PPATK. Mengingat badan pelaksana (implementing agency) pembangunan rezim anti pencucian uang cukup banyak, diperlukan koordinasi yang efektif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden No.1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004 dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,  yang diketuai oleh Menko Polhukkam, Wakil Ketua Menko Perekonomian, sekeretaris Kepala PPATK, dan beranggotakan 17 pimpinan instansi terkait. C. Pengertian dan Pola Tindak Pidana Pencucian Uang serta Hubungannya dengan Tindak Pidana Asal1.  Pengertian           Pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 UU TPPU, pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. UU TPPU telah membatasi bahwa hanya harta kekayaan yang diperoleh dari 24 jenis tindak pidana dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman 4 tahun penjara atau lebih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, yang dapat dijerat dengan sanksi pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan Pasal 6. 2.  Pola tindak pidana pencucian uang            Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukupcomplicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni : placement, layeringdan integration.            Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan ke dalam system keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.            Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang.            Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate  explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui placement maupunlayering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. 3. Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana lainnyaHubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat bahwa tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”). Sesuai dengan Pasal 1 UUTPPU yang telah diuraikan di atas, semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang.Di lain pihak, pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang beridiri sendiri (independent crime) karena delik pidana pencucian uang telah dirumuskan secara mandiri sesuai Pasal 3 dan 6 UU TPPU. Proses tindak pidana pencucian uang tidak harus menunggu adanya putusan pidana atas tindak pidana asal (predicate crime). Hal ini tepat sekali karena memang di dalam Pasal 3 dan 6 UUTPPU, perumusannya “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan” dan bukan “harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan”. Dengan demikian, hanya cukup dengan dugaan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari hasil tindak pidana maka pidana pencucian uang dapat diterapkan sepanjang seluruh unsur pidananya dan proses acara pidananya telah terpenuhi (lihat penjelasan Pasal 3 ayat 1 UUTPPU). D. Mekanisme Penanganan Perkara Pencucian UangProses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu PPATK. Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi. Proses penanganan tersebut adalah sebagai berikut :  1.  Peran Penyedia Jasa Keuangan (PJK), FIU dan MasyarakatPeran utama PJK, FIU negara lain dan masyarakat dalam penanganan perkaran pencucian uang adalah memberikan informasi awal. Laporan dan informasi tersebut adalah :a.   Laporan dari PJKSebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Sesuai Pasal 1 angka 7 UUTPPU, LTKM adalah :-         transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan-         transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang;-        transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT  dari PJK.Dalam kaitan ini, maka didalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang peran PJK sangat membantu baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak hukum untuk mentrasir aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum.b.   Laporan dari masyarakatWalaupun UU tidak mengatur kewenangan PPATK untuk menerima informasi dari masyarakat, namun berbagai informasi adanya indikasi tindak pidana sering diterima PPATK. Atas informasi ini, Direktorat Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Informasi dari masyarakat ini diterima PPATK melalui surat secara tertulis dan melalui media internet (www.ppatk.go.id , icon : contuct-us@ppatk.go.id).c.   Informasi dari aparat penegak hukumDalam penanganan suatu perkara oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui berbagai perbuatan khususnyamelalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri.   d.  Informasi dari Financial Intelligence Unit negara lainBerdasarkan hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU negara lain yang menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana lainnya. Informasi ini baik diminta atau tidak diminta sesuai dengan standar pertukaran informasi dalam prinsip paguyuban FIU seluruh dunia yang tergabung dalam suatu wadah yang dikenal dengan Egmont Group. 2.  Peran PPATKMenurut Pasal 26 UU TPPU tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping itu, PPATK dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia  Jasa Keuangan (PJK).Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pada dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk menghubungkan (”association)” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan kejahatan asal melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan, yang pada akhirnya akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si penjahat. Proses pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap placement,layering maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi asosiasi antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah terdeteksi dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam rangka mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang terkait. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan (STR-suspicious transaction report) dan transaksi keuangan tunai (CTR-cash transaction report).Sedangkan Pasal 27 UUTPPU memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain:meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes) khusunya korupsi. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporan hasil analisisnya kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan (Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK harus menjalin kerjasama yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK, sharing informasi dengan instansi pemerintah atau dapat juga berasal darisharing information dengan FIU dari negara lain sebagaimana telah diuraikan di atas.Berdasarkan angka statistik per 31 Agustus 2005, PPATK telah menerima sebanyak 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dari 95 bank umum dan 1 BPR, 4 perusahaan efek, 9 pedagang valas, 1 dana pensiun, 3 lembaga pembiayaan, 1 manajer investasi dan 5 perusahaan asuransi.  Jumlah penyedia jasa keuangan yang telah menyampaikan laporan tersebut dirasakan belum optimal dibandingkan dengan jumlah PJK lebih dari 2.000 perusahaan. Dari 2.561 laporan transaksi keuangan mencurigakan tersebut, PPATK telah melakukan analisis dengan menambahkan data dan informasi yang mendukung, dan hasilnya telah diserahkan kepada Kepolisian sebanyak 330 kasus yang merupakan hasil analisis dari 616 LTKM dan kepada Kejaksaan sebanyak 3 kasus yang merupakan hasil analisis dari 11 LTKM. F.  Proses Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tidan pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana seperti proses penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan khusus ini tentu memberikan keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :1.      Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai laporan atau informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam mendeteksi upaya penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang atau harta yang merupakan hasil tindak pidana korupsi  pada sistem keuangan atau perbankan. Hal ini karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari seluruh laporan-laporan yang ada dan memberikan informasi mengenai indikasi hasil tindak pidana, perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan pidana yang terkait. 2.     Pasal 39 sampai 43 UU TPPU memberikan  perlindungan saksi dan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi lebih efektif.  Perlindungan ini antara lain  berupa kewajiban merahasiakan identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi  pihak yang membocorkan dan perlindungan khusus oleh negara  terhadap kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk keluarganya. 3.      Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). 4.     Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK untuk memperoleh keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base dan hasil analisis  yang dimiliki FIU/PPATK.Di samping ketentuan yang telah diuraikan di atas, pasal 30 sampai dengan 38 UU TPPU secara khusus telah mengatur proses hukum tindak pidana pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses hukum) tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini tercermin dari ketentuan mengenai pemblokiran harta kekayaan, permintaan keterangan atas harta kekayaan, penyitaan, alat bukti dan tata cara proses di pengadilan.1.   PemblokiranUU TPPU tidak mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam UU TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang dapat diblokir oleh penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan dan bukan rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau besarnya harta kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula Berita Acara pemblokiranDalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut tidak boleh berkurang.Jumlah dana yang ada pada rekening untuk sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai “kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian.”Mengenai tata caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis dan jelas dengan menyebutkan point-point yang diatur dapal Pasal 32 ayat (2) UU TPPU dengan tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal UU TPPU yang diduga dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana perbankan.2. Permintaan keterangan (membuka rahasia bank)Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan dari Kapolri/Jaksa Agung/Ketua Mahkamah Agung untuk meminta izin dari Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi, menurut UU No. 31 Tahun 1999,  tetap diperlukan permohonan dari Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29). Dengan demikian, ketentuan dalam UU TPPU  dapat mempercepat upaya untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi.Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang dapat dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia bank  yaitu : 1) pihak yang telah dilaporkan oleh PPATK, 2) tersangka dan 3) terdakwa.  Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan kepada bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi kepada Gubernur Bank Indonesia.Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain yang diduga terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana, sedangkan orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka hal-hal yang perlu dilakukan penyidik, antara lain :·        Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya dilaporkan ke penyidik untuk ditindaklanjuti. ·        Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.·        Penyidik meminta izin kepada Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam bentuk surat tertulis dengan syarat :·        ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4) UU TPPU·       menyebutkan maksud dan tujuan permintaan informasi, antara lain : status permintaan informasi (untuk penyidikan atau penuntutan); tindak pidana yang disangkakan/ didakwakan (dugaan TPPU berikut predicate crime-nya); identitas seseorang; tempat harta kekayaan (cabang Bank tertentu); nomor rekening (jika ada); dan periode transaksi yang dilakukan.Surat dari penyidik ke bank/PJK perihal permintaan informasi/keterangan terkait dengan tindak lanjut STR dengan tembusan ke PPATK. Dalam hal tindak lanjut STR tersebut terkait dengan tindak pidana perbankan, surat tersebut ditembuskan baik ke PPATK dan Bank Indonesia.Untuk mengurangi intensitas hubungan langsung penegak hukum ke PJK dalam rangka TPPU, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan sejak nasabah bank yang bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjadi fasilitator antara PJK dengan penegak hukum.3.   PenyitaanDana yang disita tetap berada dalam rekening di bank yang bersangkutan (bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No.KEP-126/JA/11/1997, No.KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. Dalam mengungkap fakta bahwa seseorang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan dimaksud berasal dari hasil tindak pidana, penyidik dapat menjelaskan dengan pendekatan bahwa :-         Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya seseorang itu benar mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal dari hasil tindak pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri, dilakukan bersama-sama dengan orang lain atau dilakukan orang lain.-         Patut menduga artinya culva atau alfa, subyek lalai dalam menilai terhadap harta kekayaan. -         Di samping itu, patut menduga dapat dilihat pula dari kecakapan seseorang, artinya seseorang tersebut harus memiliki kapasitas untuk dapat dinilai apakah lalai atau tidak-         Secara praktis, untuk dapat menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya atau patut diduganya berasal dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari :ü     apakah transaksi yang dilakukan sesuai profile?ü      apakah seseorang tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya?ü      apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying transaksinya?Terlepas dari hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU TPPU, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU, terhadap unsur “harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnyaPembuktian tersebut menjadi tanggung jawab (beban)  terdakwa saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai Pasal 35 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.Berkenaan dengan pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan komulatif tidak ada masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul masalah karena dipisah pemberkasannya. Seringkali satu alat bukti digunakan terhadap kedua kasus (predicate crime dan money laundering). Dalam common law system, apabila proses pidana menyimpang dari due process of law (hukum acara) maka proses hukum gugur/batal. Selanjutnya, setelah selesai penyidikan dilakukan, penyidik meneruskan pada Jaksa Penuntut Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi Jaksa selaku penuntut umum dalam menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan dalam sidang pengadilan dalam menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.(Pasal 35 UU TPPU). Di samping itu, JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan dengan menerapkan pasal pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau pidana pencucian uang)Dalam hal penyusunan dakwaan selesai dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah proses persidangan di pengadilan. Beberapa keuntungan dalam menerapkan UUTPPU dalam proses pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :
  1. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
  2. Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana pencucian uang  “pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai pada kebenaran formal daripada material.
  3. Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus bagi saksi dan Pelador. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti dilakukan antara lain :
-         Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank (permintaan bukan ditujukan pada nama pejabat bank)-         kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu)-         tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (a.l. laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya). F. PenutupPPATK sebagai lembaga intelijen keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi keuangan lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat memenuhi informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar informasi.            Ketentuan yang mengatur mengenai proses hukum (hukum acara) tindak pidana pencucian uang menjadi kunci sukses dalam menindak lanjuti setiap hasil analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam sidang pengadilan, sehingga pelaku tindak pidana tidak bisa menghindar dari ancaman hukuman dan hasil tindak pidananya dapat dirampas untuk negara.

kepailitan

1. Pengertian Kepailitan


Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. 
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.

2. Peraturan Perundangan tentang Kepailitan
Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.

Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135). 
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.

Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.

3. Tujuan utama kepailitan 
adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

4. Lembaga kepailitan 
Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
1. kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

5. Para Pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu:
1.       atas permohonan debitur sendiri
2.       atas permintaan seorang atau lebih kreditur
3.       oleh kejaksaan atas kepentingan umum
4.       Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
5.       oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi dua syarat yaitu:

1. Memiliki minimal dua kreditur;

2. Tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kreditur yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan kreditur, tanpa melihat jumlah piutangnya.

6. Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.

Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit). 
7. Siapa yang Mempailitkan Siapa

Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat, sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.

Jika kita melihat kasus Prudential dan Manulife beberapa waktu yang lalu, maka telah nyata bagi semua kalangan, bahwa perusahaan asuransi pun melibatkan uang masyarakat banyak, sehingga seharusnya UUK mengatur bahwa Perusahaan Asuransi pun harus hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, dalam hal ini Departemen Keuangan. Kejaksaaan juga dapat mengajukan permohonan pailit yang permohonannya didasarkan untuk kepentingan umum

8. Tentang Kurator

8.1. Kewenangan Kurator

Kepailitan suatu perseroan terbatas berakibat hilangnya kekuasaan dan kewenangan seluruh organ-organ perseroan atas harta kekayaan perseroan tersebut. Organ-organ perseroan seperti RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris menjadi tidak berwenanang untuk melakukan tindakan-tindakan kepengurusan harta, dan kedudukannya digantikan oleh kurator. Sebagai contoh, Pasal 67(2) UU Kepailitan menegaskan bahwa dalam melakukan tugasnya kurator tidak memerlukan persetujuan dari organ debitur/perseroan pailit, walaupun di luar kepailitan persetujuan tersebut disyaratkan. Apakah organ-organ perseroan kehilangan wewenangnya untuk melakukan tindakan selain pengurusan atas harta pailit. Organ-organ itu tetap berwenang selama tidak ada akibatnya atas harta pailit. Jika kita mengkaji kepailitan atas perseorangan dan bukan perseroan terbatas, maka debitur pailit dapat tetap hidup, bersosialisasi, bahkan dapat bekerja dan menghasilkan uang untuk harta pailit. Namun, untuk perseroan terbatas memang sulit sekali ditarik garis yang jelas, karena sebagai badan usaha yang bertujuan mencari keuntungan, maka seluruh atau (hampir seluruh) tindakan yang diambil organ-organ tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan. Namun baiklah untuk kepentingan diskusi ini kita anggap saja organ perseroan tetap berwenang. Akibatnya, kurator tidak dapat mengambilalih kewenangan tersebut, termasuk mengadakan RUPS, dan sebagainya.

8.2.Tugas Kurator

Deskripsi tugas seorang kurator dan pengurus dalam kepailitan tersebar dalam pasal-pasal di Undang-undang Kepailitan (UUK). Namun tugas kurator dan pengurus yang paling fundamental (sebagaimana diatur dalam ps. 67(1) UUK), adalah untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam melakukan tugas ini kurator maupun pengurus memiliki satu visi utama, yaitu mengambil keputusan yang terbaik untuk memaksimalisasikan nilai harta pailit. Lebih jauh lagi tugas kurator pengurus dapat dilihat pada job description dari kurator pengurus, karena setidaknya ada 3 jenis penugasan yang dapat diberikan kepada kurator pengurus dalam hal proses kepailitan, yaitu:

1. Sebagai Kurator sementara 
Kurator sementara ditunjuk dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan debitur melakukan tindakan yang mungkin dapat merugikan hartanya, selama jalannya proses beracara pada pengadilan sebelum debitur dinyatakan pailit. Tugas utama kurator sementara adalah untuk:

1) mengawasi pengelolaan usaha debitur; dan

2)mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan kurator (ps.7 UUK).

secara umum tugas kurator sementara tidak banyak berbeda dengan pengurus, namun karena pertimbangan keterbatasan kewenangan dan efektivitas yang ada pada kurator sementara, maka sampai saat ini sedikit sekali terjadi penunjukan kurator sementara.

2. Sebagai pengurus

Pengurus ditunjuk dalam hal adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Tugas pengurus hanya sebatas menyelenggarakan pengadministrasian proses PKPU, seperti misalnya melakukan pengumuman, mengundang rapat-rapat kreditur, ditambah dengan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh debitur dengan tujuan agar debitur tidak melakukan hal-hal yang mungkin dapat merugikan hartanya. Perlu diketahui bahwa dalam PKPU debitur masih memiliki kewenangan untuk mengurus hartanya sehingga kewenangan pengurus sebatas hanya mengawasi belaka.

3. Sebagai Kurator

Kurator ditunjuk pada saat debitur dinyatakan pailit, sebagai akibat dari keadaan pailit, maka debitur kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya, dan oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit jatuh ke tangan kurator.

Dari berbagai jenis tugas bagi Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan, maka dapat disarikan bahwa kurator memiliki beberapa tugas utama, yaitu:

1. Tugas AdministratifDalam kapasitas administratif nya Kurator bertugas untuk mengadministrasikan proses-proses yang terjadi dalam kepailitan, misalnya melakukan pengumuman (ps. 13 (4) UUK); mengundang rapat-rapat kreditur ; mengamankan harta kekayaan debitur pailit; melakukan inventarisasi harta pailit (ps. 91 UUK); serta membuat laporan rutin kepada hakim pengawas (ps. 70 B (1) UUK). Dalam menjalankan kapasitas administratifnya Kurator memiliki kewenangan antara lain a) kewenangan untuk melakukan upaya paksa seperti paksa badan (ps. 84 (1) UUK), b) melakukan penyegelan (bila perlu) (ps. 90 (1) UUK)

2. Tugas Mengurus/mengelola harta pailit. Selama proses kepailitan belum sampai pada keadaan insolvensi (pailit), maka kurator dapat melanjutkan pengelolaan usaha-usaha debitur pailit sebagaimana layaknya organ perseroan (direksi) atas ijin rapat kreditur (ps. 95 (1) UUK). Pengelolaan hanya dapat dilakukan apabila debitur pailit masih memiliki suatu usaha yang masih berjalan. Kewenangan yang diberikan dalam menjalankan pengelolaan ini termasuk diantaranya:
a) kewenangan untuk membuka seluruh korespondensi yang ditujukan kepada debitur pailit (ps. 14 jo ps.96 UUK)

b) kewenangan untuk meminjam dana pihak ketiga dengan dijamin dengan harta pailit yang belum dibebani demi kelangsungan usaha (ps. 67 (3)-(4) UUK)
c) kewenangan khusus untuk mengakhiri sewa, memutuskan hubungan kerja, dan perjanjian lainnya
Tugas Melakukan penjualan-pemberesan Tugas yang paling utama bagi Kurator adalah untuk melakukan pemberesan. Maksudnya pemberesan di sini adalah suatu keadaan dimana kurator melakukan pembayaran kepada para kreditor konkuren dari hasil penjualan harta pailit.

9. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) 
PKPU diatur pada BAB II UU Kepailitan, tepatnya ps. 212 sampai ps. 279 Undang-Undang Kepailitan.Kedudukan dari PKPU adalah bahwa PKPU tidak dapat disejajarkan dengan instrumen kepailitan, atau sebagai sesuatu yang bersifat alternatif dari prosedur kepailitan. PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren (pasal 212 UU Kepailitan).
PKPU dapat diajukan secara sukarela oleh debitur yang telah memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat membayar utang-utangnya, maupun sebagai upaya hukum terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh krediturnya. PKPU sendiri terbagi 2 bagian, yaitu:
1.       tahap pertama, adalah PKPU Sementara,
2.       tahap kedua adalah PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 214 ayat (2) UU Kepailitan Pengadilan niaga HARUS mengabulkan permohonan PKPU Sementara. PKPU sementara diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat kreditur yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.
PKPU Tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke 45 atau rapat kreditur tersebut, belum dapat memberikan suara mereka terhadap rencana tersebut (pasal 217 (3) UUK).

Prinsip ini jelas berbeda dengan kepailitan, yang prinsip dasarnya adalah untuk memperoleh pelunasan secara proporsional dari utang-utang debitur. Meskipun pada prinsipnya kepailitan masih membuka pintu menuju perdamaian dalam kepailitan, namun cukup jelas bahwa kepailitan dan PKPU adalah dua hal yang berbeda, dan oleh karenanya tidak pada tempatnya untuk membandingkan secara kuantitatif kedua hal tersebut
Manfaat adanya PKPU

Jelas sangat bermanfaat, karena perdamaian yang dilakukan melalui PKPU akan mengikat kreditur lain diluar PKPU (pasal 270 UUK), sehingga debitur dapat melanjutkan restrukturisasi usahanya, tanpa takut ‘digerecoki’ oleh tagihan-tagihan kreditur-kreditur yang berada diluar PKPU. Selain itu Kreditur juga seharusnya terjamin melalui PKPU, karena apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian tersebut, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian kepada Pengadilan Niaga, dan debitur akan otomatis dinyatakan pailit (pasal160, 161, jo 276 UUK).

Bandingkan dengan apabila melalui proses restructuring biasa, yang apabila terjadi breach perjanjian, tentunya harus dilalui proses gugat perdata yang berliku-liku proses dan panjangnya waktu. Berdasarkan Undang Undang Kepailitan maka, pengadilan yang berhak memutus pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Hukum Acara yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata.

PENGADILAN NIAGA
Yang berhak memutus pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pengadilan Niaga yang berada di Peradilan Umum yang untuk pertama kalinya dibentuk oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hukum Acara yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Umum. Putusan Pengadilan Niaga dapat diajukan upaya hukum lain setelah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu melalui PK (Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung) dengan syarat:
ú terdapat bukti tertulis baru

ú Pengadilan Niaga telah melakukan kesalahan berat dalam penetapan hukumnya.

(dengan jangka awaktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima Panitera M A)

Selasa, 28 Mei 2013

Pembobol Kartu ATM Antar provinsi Ditangkap



ENAM boks ATM Hotel Jelita di Banjarmasin, ATM Lavanilla Kayu Tangi, ATM SPBU Sultan Adam, ATM Masjid Jami, ATM Hotel Royal A Yani KM 5 Banjarmasin, ATM Hotel Andhika Jalan Pramuka dan ATM Jalan S Parman dekat dialer Suzuki di Banjarmasin, menjadi sasaran pembobolan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) komplotan antarprovinsi.
     Aksi komplotan beranggotakan empat orang ini, masing-masing Ahman Efrizal alias Aman (32), warga Palembang, Jamal Azra, kemudian Tamim warga Palembang, serta Saka warga Palembang, telah melanglang buana di Indonesia, seperti melakukan operasi ATM di Bandung Jawa Barat, Palembang Sumatera Selatan, dan Banjarmasin di Kalimantan.
Namun petualangan para komplotan ini terbongkar di Banjarmasin, di saat pelaku Ahman Efrizal alias  
     Aman (32), warga Palembang yang menginap di Hotel Mawar Jalan A Yani KM 1, tertangkap saat beraksi membobol kartu ATM di Banjarmasin, oleh petugas Unit II Ekonomi, Satuan Reserse Kriminal Polresta Banjarmasin.
"Dari catatan di Polresta Banjarmasin, komplotan tersebut sudah pernah beraksi membobol ATM di tiga provinsi di Indonesia, di antaranya Bandung (Jawa Barat), Palembang (Sumsel) dan Banjarmasin (Kalsel)," kata kepala Satreskrim Kompol Afner Juwono, didampingi Kasubnit I Unit II Ekonomi Ipda K Damanik, kemarin.
     Jaringan tersebut beraksi di Kota Banjarmasin sudah enam kali, dengan lokasi tempat kejadian perkara (TKP) wilayah hukum (wilkum) Polsekta Banjarmasin Utara ada tiga kasus, wilkum Polsekta Banjarmasin Timur satu kasus, dan Polresta Banjarmasin dua kasus, satu kasus ditangani Unit II Ekonomi, satu lagi ditangani Unit Jatanras.
     Terbongkarnya jaringan pembobol kartu ATM antarprovinsi tersebut, oleh Polresta Banjarmasin berdasarkan laporan masuk dari Bank BRI, yang mencurigai dari layar CCTV tersembunyi di boks ATM Jalan Pramuka, terdata seorang pria menempelkan stiker pada boks ATM.
     Pelaku Ahman Efrizal alias Aman (32), ditangkap saat beraksi menempelkan stiker, potongan mika, agar kartu ATM tertelan. Sticker bertuliskan bila kartu anda tertelan silakan hubungi call center semua logo bank, Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN dan Bank lainnya, dengan nomor panggil call center palsu, 0511767709. Sedangkan yang bertugas terima telepon bernama Jamal Azra masih dicari (DPO).
     Sementara yang bertugas merusak boks ATM pengambil kartu dan pencairan uang di boks ATM, adalah pelaku Tamim warga Palembang juga DPO. Kemudian Saka warga Palembang, bertugas mengamati lokasi sasaran boks ATM, juga masih diburu. Terakhir di ketahui tiga orang itu berada di wilkum Polres Banjarbaru.
     Sejak empat hari beraksi di Kota Banjarmasin, sudah sekitar Rp75 juta, dari enam korban yang mereka kuras uangnya, termasuk salah satu korban adalah jaksa di Kejaksaan tinggi (Kejati) Kalsel, bernama Elisa, juga jadi korban mereka.
     Modus yang digunakan pelaku, bila ada korban yang kartu ATMnya tertelan, satu orang bertugas menunjukkan tanda pengenal lagaknya seperti petugas servis Bank. Kemudian korban digiring untuk menelepon untuk kemudian mengetahui nomor PIN milik korban. Setelah korban pergi, satu pelaku, merusak ATM dan mengambil kartu pada mesin ATM menggunakan pahat.
     Dua pelaku lainnya, berangkat mengambil uang korban di boks ATM lainnya, hingga terkuras habis uang milik korban. Tersangka pembobol kartu ATM antarpulau, akan dijerat pasal berlapis, Pasal 363 KUHP dan pasal penipuan Pasal 378 KUHP, dengan ancaman hukuman di atas lima tahun.

Tersangka Korupsi Bantuan Korban Kebakaran di Kotabaru


Warna Ningsih tak mampu membendung air matanya ketika dipanggil oleh penyidik Mapolres Kotabaru, Senin (26/10), untuk memberikan keterangan kepada wartawan. Tersangka yang diduga menggelembungkan dana bantuan mesin untuk korban kebakaran itu, mengaku terpukul atas kasus yang menimpanya. Apalagi belum lama ini salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia.
Pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalsel itu sejak 16 Oktober lalu meringkuk di sel tahanan Mapolres Kotabaru bersama Ahmad Budi Suryawan, rekan sekerjanya.
Kedua tersangka tidak bisa berkelit atas hasil audit BPKP yang menemukan terjadi penggelembungan pembelian seratus unit mesin untuk bantuan nelayan di Desa Rampa yang terkena musibah kebakaran pada 2006 lalu. Dalam kasus itu diperkirakan negara dirugikan Rp 242.905.000. “Saya mau saja memberikan keterangan kepada wartawan, tapi kalau sekarang belum bisa,” kata Warna Ningsih.
Pantauan wartawan, wajah Warna Ningsih terlihat pucat. Di sel itu dia ditemani seorang tahanan perempuan. Informasi diperoleh, Ningsih dan Budi telah mengajukan penangguhan penahanan atas jaminan keluarga.
Kasatreskrim Polres Kotabaru AKP Afner Juwono mengaku sudah menerima surat permintaan penangguhan penahanan itu. Namun Afner belum bisa memastikan apakah permintaan mereka bisa dikabulkan. “Surat permintaan penangguhannya masih ada sama pimpinan. Disetujui atau tidak tergantung pimpinan,” katanya, Senin (26/10).
Afner menambahkan, kepolisian masih memperdalam penyelidikan kasus itu, sebab tidak menutup kemungkinan tersangka bertambah. “Ada beberapa orang lagi yang kita diperiksa. Sehingga tak menutup kemungkinan ada tersangka baru,” ujarnya

Polisi Tangkap Residivis Pelaku Pembobolan Rumah

Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polresta Banjarmasin, menangkap seorang resedivis pembobolan rumah yang beraksi di kawasan jalan Dahlia Banjarmasin Tengah.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banjarmasin, Kompol Afner Juwono Sik di Banjarmasin, Jumat membenarkan, Unit Kejahatan dan Kekerasan Sat Reskrim Polresta Banjarmasin menangkap dan mengamankan residivis pembobolan rumah.
Saat ini pelaku sudah di lakukan pemeriksaan dan penyidikan oleh penyidik atas perbuatannya pada Kamis (21/3) sore, sekitar pukul 15.30 wita, melakukan percobaan pecurian dengan cara membobol atau merusak pintu rumah korban, menggunakan alat pencongkel sejenis linggis.
"Pelaku sudah kita tangkap dan saat ini sedang dalam pemeriksaan guna proses hukum lebih lanjut atas perbuatannya melakukan percobaan pencurian rumah dengan cara merusak pintu," tuturnya.
Afner menceritakan, residivis yang diketahui bernama Marwanto alias Iwan Ubay (38) warga jalan 9 Oktober Kelurahan Pekauman Banjarmasin Selatan itu, waktu ingin melakukan pencurian ketauan pemilik rumah saat ingin memasuki rumah tersebut.
Iwan Ubay pun langsung diteriakin maling oleh pemilik rumah, karena sudah ketauan, laki-laki berambut gondrong itu langsung lari menyelamatkan diri.
Nasibnya naas, massa yang berada tak jauh dari rumah tersebut mengetahuinya dan langsung melakukan penangkapan serta memukulinya beramai-ramai hingga babak belur.
Untung saja, polisi yang mengetahui kejadian tersebut cepat datang ketempat kejadian dan langsung mengamankan pelaku dari amukan massa yang geram dengan ulahnya yang meresahkan itu.
"Pelaku tersebut sudah dilakukan penahanan dan sempat kita lakukan pengobatan ringan, karena ada lebam diwajahnya yang diduga akibat pukulan warga yang menangkapnya lebih dulu," ucap perwira lulusan Akpol angkatan 2000 itu.
Dikatakan, atas perbuatan Iwan Ubay yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka itu, dijerat dengan pasala 363 jo 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman diatas lima tahun pidana, demikian Afner.
Sementara itu, Iwan Ubay mengatakan, dia melakukan aksi nekad itu karena tuntutan ekonomi selain untuk membayar uang sewa rumah, serta membeli sembilan bahan pokok, anaknya pun minta dibelikan sepeda Fixie untuk ke sekolah.
Akibat tuntutan tersebut, pria yang keseharian sebagai tukang ojek itu kembali melakukan pencurian dan bila berhasil barang hasil curian itu dijual dan uangnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
"Saya pernah ditangkap kasus yang sama di 2004 vonis 1,2 bulan, setelah keluar, selama itu saya tidak mau mengilangi perbuatan itu, tapi kenapa akibat tuntutan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga yang banyak terpaksa saya kembali lagi melakukan perbuatan haram ini padahal saya tau resiko yang dihadapi," tuturnya

Pelaku Pembunuhan di Kalsel Dirujuk ke RS Jiwa


Satuan Reserse Kriminal Polresta Banjarmasin, melakukan pengobatan pelaku pembunuh Ibu Rumah Tangga (IRT) ke Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarbaru Kalimantan Selatan (Kalsel).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banjarmasin, Kompol Afner Juwono Sik di Banjarmasin, Jumat mengatakan, diobatinya pelaku pembunuhan itu karena diduga mengalami gangguan jiwa. Diketahui, pelaku mengalami adanya gangguan jiwa itu dilihat dari hasil pemeriksaan psikiater yang melakukan pemeriksaan terhadap pelaku pembunuhan tersebut.
Pelaku pembunuhan itu diketahui bernama Rahmadi (58 tahun), ditangkap polisi pada Selasa (9/4) dini hari sekitar pukul 03.00 WITA di rumahnya, jalan Cempaka Putih Rt 08 No 31C Kelurahan Kebun Bunga Banjarmasin Timur. Pelaku membunuh tetangganya dengan memukulkan kayu balok ke korban belasan kali hingga tewas.
“Dari hasil psikiater itu menjadi alasan kuat untuk membantarkan pelaku ke Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, dan pelaku juga memiliki riwayat pernah di rawat terkait gangguan jiwa yang dialaminya dengan adanya kartu merah dari Rumah Sakit Jiwa Anshari Saleh,” terang Afner.
Dikatakannya, pelaku sering berteriak di tahanan Polresta Banjarmasin dan buang atmosphere besar di dalam sel. Pembantaran itu bertujuan agar pelaku dilakukan observasi atau pengobatan terhadap kejiwaannya, dan hasil pengobatan di rumah sakit jiwa tersebut menentukan atas proses kelanjutan proses hukumnya.

Curi Sepeda Motor Untuk ke Diskotik

Tidak punya uang untuk pergi ke tempat hiburan malam, Muhammad Aidil alias Emen (19) dan temannya M Agi Febrian alias Agi (21) nekat mencuri sepeda motor. Akibatnya, keduanya terpaksa harus merasakan dinginnya sel di balik jeruji besi.
Petugas awalnya meringkus Emen saat hendak bertransaksi menjual sepeda motor hasil curiannya kepada seseorang di kawasan Jln Gubernur Subarjo, Jumat (17/5) sore.
Warga Jln Sutoyo S Komplek Imam Bonjol RT 8 No 72 ini merupakan residivis mengaku sudah dua kali melakukan pencurian sepeda motor. “Yang pertama di Komplek Pondok Kelapa saya dapat Honda Beat dan dijual Rp2,5 juta. Sedangkan satunya lagi di Rawasari III dapat Vario, tapi tak sempat dijual karena keburu ditangkap,” ujarnya.
Emen beralasan nekat mencuri lantaran tak punya uang untuk pergi ke tempat hiburan malam. “Mau ke diskotek tapi tak punya uang,” tutur pemuda yang juga mengaku pernah melakukan pencurian di rumah kosong ini.  
Setelah melakukan pengembangan petugas kembali menangkap Agi di tempat permainan biliar. Warga Jln Sutoyo S Gang Merpati No 5 RT 44 yang pernah tersangkut kasus penjambretan pada tahun 2009 ini mengaku ikut mencuri karena terpengaruh dengan lingkungan. “Karena terpengaruh dengan kawan,” ucapnya singkat. 
Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin Kompol Afner Juwono membenarkan telah mengamankan kedua pelaku. “Pelaku sudah kita amankan bersama dengan barang bukti,” katanya.